Cerpen: Jodoh Yang Kutemukan di Atas Jok Motor

Cerpen: Jodoh Yang Kutemukan di Atas Jok Motor

Jodoh Yang Kutemukan di Atas Jok Motor. Aku tidak pernah menyangka perjalanan ke toko buku bisa mengubah hidupku. Hari itu, niatku sederhana mencari buku tentang “pendamping hidup”.

Sebuah tema yang kupikir menarik untuk kubaca sambil mengisi waktu luang.

Tak ada sedikit pun terlintas dalam benakku bahwa buku itu justru menjadi pintu bertemunya aku dengan takdir.

“Selamat siang, Kak. Pesanan ojolnya ya?” suara ramah itu menyapaku ketika aku baru saja berdiri di depan toko buku dengan kantong plastik berisi satu buku.

“Iya, Mas. Betul. Ke arah Ciputat, ya.” jawabku singkat.

“Baik, naik saja. Semoga nyaman, ya,” katanya sambil tersenyum.

Senyumnya sederhana, tapi entah kenapa menenangkan. Sepanjang perjalanan, ia tak henti mengajakku berbincang.

“Buku apa yang baru dibeli, Kak?” tanyanya.

Aku agak canggung, tapi akhirnya menjawab, “Hehe… buku tentang pendamping hidup.”

“Oh, wah… berat juga temanya. Lagi cari inspirasi, ya?” ia terkekeh.

Aku pun tertawa kecil. “Iya, semacam itu. Daripada pusing mikirin hal lain, mending baca.”

“Setuju, Kak. Tapi jangan lupa, kadang jodoh nggak hanya datang lewat buku, bisa juga datang dari jalanan begini,” ujarnya berseloroh.

Aku hanya mengangguk sambil menahan senyum. Dalam hati, aku berkata, “Ihh..Apaan sih ni simas, bisa aja.”

Hari-hari setelah itu terasa berbeda. Nomor ponselnya tersimpan otomatis di riwayat perjalanan. Karena menurutku abangnya sopan, suatu ketika aku pesan tidak melalui aplikasi.

Dalam perjalanan, aku bertanya.

“Mas, kok sering banget jadi ojol? Memangnya full jadi Ojol ?”

Baca Juga : Dari Luka Cinta Menuju Cinta Sejati

Balasannya cukup mengejutkan.

“Jujur, Kak. Saya sebenarnya punya usaha restoran kecil di pinggir Jakarta. Tapi kadang suntuk kalau hanya mengurus dapur. Tapi bisnis itu sudah ada karyawan, jadi ditinggalpun ga masalah, Jadi saya nyambi ojol buat cari suasana baru. Senang aja ketemu orang-orang baru, apalagi kalau se-asyik Kakak.”

Aku terdiam membaca balasannya.

Dalam hati, ada rasa kagum. Kesederhanaannya terasa tulus, meski sebenarnya ia bisa saja hanya fokus pada bisnisnya.

Tak butuh waktu lama, ia meminta izin untuk datang ke rumah.

“Assalamualaikum, boleh saya main ke rumah, Kak? Saya ingin silaturahim sama keluarga. Biar nggak sekadar ngobrol lewat HP saja.”

Aku kaget sekaligus gugup. “Serius, Mas? Baru kenal loh kita…”

“Justru karena serius, Kak. Kalau memang nggak ada niat baik, saya nggak akan berani datang. InsyaAllah, saya ingin kenal lebih dekat dengan keluarga Kakak,” jawabnya dengan nada mantap.

Akhirnya, ia benar-benar datang. Duduk di ruang tamu dengan sikap sopan, berbicara dengan ayah dan ibuku. Aku hanya bisa menunduk, malu sekaligus kagum.

Ayahku sempat bertanya, “Jadi, Mas, serius berteman dengan anak saya?”

Ia menjawab tegas, “Iya, Pak. Niat saya jelas. Saya ingin melamar, jika memang Allah ridha dan keluarga berkenan.”

Aku benar-benar terkejut. Wajahku memanas, sementara ibuku tersenyum penuh arti.

Satu bulan kemudian, benar saja. Ia kembali, kali ini bersama keluarganya. Prosesi lamaran berjalan sederhana tapi penuh kebahagiaan.

Aku sempat menegurnya lewat bisikan kecil setelah acara selesai.

“Mas, kok cepat sekali? Nggak takut saya belum sepenuhnya siap?”

Ia tersenyum lembut. “Kalau jodoh, Kak, kenapa harus ditunda? Allah sudah atur waktunya. Saya pun yakin, hati Kakak sudah mantap meski baru kita lalui dengan singkat.”

Aku hanya bisa menunduk, tersenyum malu.

Dan sejak itu, aku menyadari satu hal: jodoh benar-benar misteri dan rahasia Allah. Aku mencarinya lewat buku, tapi Allah justru mengirimkan lewat seorang pengemudi ojol yang ternyata pemilik restoran.

Kini, setiap kali aku menatap buku itu di rak, aku selalu tersenyum.

Buku tentang pendamping hidup itu memang memberi jawaban, tapi bukan lewat kata-kata di dalamnya—melainkan lewat perjalanan pulang bersama dia yang kini akan menjadi suamiku.