Ketika Dunia Ini Yang Bukan Milikku Telah Pergi. Langit pagi itu cerah. Matahari mengintip dari balik awan, membiaskan warna keemasan di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang.
Di jalanan kota yang padat, orang-orang bergegas menuju tempat kerja, mengejar waktu, mengejar ambisi, mengejar kehidupan yang mereka anggap milik mereka sepenuhnya.
Aku pun salah satu dari mereka.
Setiap hari, aku bangun pagi, mengenakan pakaian kerja, mengatur jadwal rapat, mengejar klien, menyiapkan presentasi, dan menutup hari dengan berbagai acara sosial yang seolah tak pernah habis.
Hidupku padat, penuh agenda, penuh kesibukan.
Aku merasa begitu hidup. Teman-teman banyak, relasi luas, karier merangkak naik, harta perlahan terkumpul.
Ada tawa dalam perjalanan, ada gurau di sela-sela kerja.
Kadang aku berpikir, “Inilah hidup yang kuimpikan.” Namun tanpa kusadari, hidupku sesungguhnya berjalan jauh dari sumber kehidupan itu sendiri.
Setiap kali adzan berkumandang dari masjid dekat kantor, suaranya seperti angin lalu.
Sayup-sayup terdengar, namun seolah tak menyentuh ruang hatiku. Aku tahu suara itu panggilan suci, tapi selalu aku tangguhkan.
“Nanti saja setelah rapat selesai.” “Nanti saja setelah pertemuan ini usai.” “Nanti saja setelah aku tak sibuk.” Dan “nanti” itu tak pernah benar-benar datang.
Hari demi hari aku membangun tembok di antara diriku dan Tuhanku.
Aku merasa mampu berdiri di atas kakiku sendiri.
Aku merasa semua keberhasilan adalah hasil keringatku sendiri.
Aku merasa dunia ini, dengan segala isinya, adalah milikku.
Aku berjalan, aku berlari, aku bergaul ke sana ke mari, aku sibuk menata hidup yang kuanggap sempurna. Tapi ada satu ruang kosong yang tak pernah benar-benar terisi.
Di sela-sela kesibukan yang tampak gemerlap itu, kadang aku merasa lelah.
Lelah yang tak sekadar fisik, tapi juga jiwa.
Ada kehampaan yang tak dapat kutemukan obatnya di tengah pesta atau tawa.
Ada lubang gelap yang terus menganga di dalam hati.
Setiap kali malam tiba dan aku pulang ke rumah yang megah tapi sepi, aku sering duduk sendiri memandang langit-langit, merasa kosong.
Tapi entah mengapa aku tetap mengabaikan suara hatiku sendiri.
Aku mengira ini hanya fase. Aku mengira kebahagiaan akan datang setelah proyek ini selesai, setelah aku beli kendaraan baru, setelah aku pergi liburan ke luar negeri.
Aku mengira kepuasan batin bisa kubeli bersama barang-barang dunia. Aku mengira waktu akan menyembuhkan rasa sepi itu.
Aku terus berjalan dalam lingkaran yang sama, memupuk kesibukan, memupuk rasa memiliki yang semu.
Hingga suatu hari, semua yang kuanggap kukuh runtuh dalam sekejap.
Hari itu aku sedang terburu-buru menuju sebuah pertemuan penting.
Jalanan padat. Kendaraan yang kubanggakan, yang selama ini jadi simbol keberhasilanku, ku belokan dan masuk ke jalur cepat, akupun melaju dengan begitu cepatnya. Di kepalaku hanya ada target-target dan jadwal-jadwal.
Aku bahkan tak sempat memandang langit. Lalu, dalam sekejap, semuanya gelap.
Dentuman keras, rem mendecit, teriakan orang-orang, lalu sunyi.
Ketika aku tersadar, aku berada di ranjang rumah sakit. Suara mesin medis berdetak di sekitarku.
Bau obat menyengat. Tubuhku terasa berat.
Aku mencoba menggerakkan kaki tak bisa.
Aku mencoba membuka mata, pandangan kabur, gelap di sebagian sisi.
Dokter datang, keluargaku menangis di ujung ranjang.
Kata-kata mereka samar, tapi aku menangkap satu kebenaran yang menghantam dadaku, aku kehilangan kakiku. Mataku tak lagi sempurna.
Kendaraan yang kuanggap milikku hancur lebur.
Semua yang kemarin terasa begitu kukuh kini hilang. Semua yang kuanggap milikku ternyata hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil. Aku terbaring lemah.
Tak ada lagi rapat. Tak ada lagi jadwal sibuk.
Tak ada lagi teman-teman yang tertawa bersamaku di café. Tinggal aku, kesepian, dan rasa sakit yang menelusup ke seluruh tubuh.
Di titik itulah aku benar-benar merasa kosong. Bukan hanya kehilangan anggota tubuhku, tapi kehilangan diriku sendiri.
Aku menangis bukan karena luka fisik, tapi karena luka batin yang selama ini kuabaikan.
Betapa lama aku menutup telinga dari panggilan-Nya.
Betapa lama aku merasa dunia ini milikku.
Betapa lama aku mengira aku bisa berdiri sendiri tanpa mengenal siapa yang menciptakan diriku.
Air mata menetes di pipiku.
“Ya Allah…” lirihku di sela-sela sakit. “Terima kasih Engkau ingatkan aku.
Terima kasih Engkau tegur aku dengan kehilangan ini.
Terima kasih Engkau beri aku rasa sakit agar aku sadar.”
Aku kini mengerti. Semua kesibukan, semua harta, semua kebanggaan hanyalah debu bila aku tak mengenal-Mu.
Semua yang kuanggap kekuatan hanyalah kelemahan bila aku menjauh dari-Mu.
Aku mengerti kebahagiaan sejati tak bisa dibeli dengan dunia, karena dunia ini bukan milikku.
Aku hanya tamu, dan semua yang kupunya hanyalah titipan.
Aku mulai belajar menyebut nama-Nya lagi.
Mulai belajar mendengar adzan bukan sekadar suara, tapi panggilan. Mulai belajar sujud meski dengan tubuh terbatas.
Mulai belajar menerima bahwa kehilangan ini bukan hukuman, tapi teguran penuh kasih.
Dan anehnya, di tengah segala luka dan kehilangan, aku menemukan ketenangan yang dulu kucari.
Ketenangan yang tak pernah kudapatkan dari tawa teman, dari gemerlap pesta, dari harta benda. Aku menemukan arah yang selama ini hilang.
Aku menemukan Dia.
Kini, setiap kali aku menatap diriku di cermin, meski tubuhku tak lagi sempurna, aku merasa lebih utuh.
Aku tak lagi merasa memiliki dunia, tapi aku merasa dimiliki oleh-Nya.
Dan itu lebih dari cukup.
Aku.. Sepenggal Kata Pesan untuk Kamu pembaca – Semoga tak sepertiku
