Cerpen: Dari Luka Cinta Menuju Cinta Sejati

Cerpen: Dari Luka Cinta Menuju Cinta Sejati

Dari Luka Cinta Menuju Cinta Sejati. Aku pernah percaya bahwa hidupku sudah lengkap. Pekerjaan yang lumayan mapan, teman-teman yang selalu siap diajak bercanda, dan seseorang yang kucintai dengan sepenuh hati.

Cinta itu bagiku adalah dunia.

Aku merawatnya, menaruh semua harapan dan mimpi ke dalamnya. Tapi siapa sangka, dunia yang kuanggap milikku itu runtuh dalam sekejap.

Hari itu ia meninggalkanku. Tanpa banyak kata, tanpa penjelasan yang panjang. Yang tersisa hanya pesan singkat di layar ponsel, tanda bahwa ia memilih jalan sendiri.

Dunia yang tadinya terasa luas mendadak mengecil.

Rasanya aku seperti terperangkap dalam ruang gelap yang tak ada pintunya.

Setiap pagi aku bangun dengan berat, setiap malam aku tidur dengan sesak.

Aku berhenti melakukan hobi yang dulu kucintai, berhenti bergaul, bahkan pekerjaan pun kulakukan asal-asalan.

Aku merasa tak punya energi untuk apa pun.

Lebih parah lagi, dalam hatiku mulai muncul pikiran yang menakutkan: untuk apa aku hidup kalau sakitnya seperti ini? Pikiran itu datang berulang-ulang seperti ombak, menghantam kesadaranku yang rapuh.

Aku merasa kosong.

Ada kekosongan yang tak bisa kuisi dengan apa pun. Aku mencoba menghibur diri dengan belanja, jalan-jalan, atau nongkrong dengan teman.

Tapi semua itu hanya seperti menempelkan plester di luka yang menganga.

Hanya sebentar mengurangi nyeri, tapi tak pernah menyembuhkan.

Baca Juga : Ketika Dunia Ini Yang Bukan Milikku Telah Pergi

Di tengah masa kelam itu, seorang teman lama muncul.

Kami tidak terlalu dekat sebelumnya, hanya kenal lewat satu kegiatan sosial. Tapi entah mengapa, ia seperti tahu bahwa aku sedang terpuruk.

Ia mulai menghubungiku lewat pesan. Awalnya menanyakan kabar, lalu sedikit demi sedikit ia mengajak bicara. Aku jarang membalas.

Kadang hanya dengan “iya” atau “terima kasih”. Namun ia tetap sabar.

Suatu sore, ia datang menemuiku. “Aku lihat kamu nggak seperti biasanya,” katanya lembut. “Aku tahu kamu lagi berat.

Aku nggak bisa janji bisa bantu banyak, tapi aku punya tempat yang mungkin bisa bikin hatimu lebih tenang. Pengajian pekanan. Mau ikut?”

Aku mendengarkan kata-katanya dengan sinis. Dalam pikiranku, pengajian? Apa hubungannya dengan patah hati? Aku butuh solusi, bukan ceramah.

Tapi teman ini tidak memaksa. Ia hanya berkata, “Coba saja sekali. Kalau nggak cocok, nggak usah datang lagi.”

Aku menolak beberapa kali. Tapi entah mengapa, ajakan itu terus datang. Ia bahkan bersedia menjemputku.

Hingga akhirnya aku luluh. “Baiklah,” kataku pelan. “Aku ikut.”

Hari pertama pengajian itu terasa asing bagiku. Aku duduk di sudut ruangan, lebih banyak diam. Di hadapanku beberapa orang duduk melingkar.

Ustadz yang memimpin membuka dengan salam, lalu mulai berbicara.

Satu persatu yang hadir membuka Al Qur’an lalu terus berputar membacanya bergantian, sesekali kuperhatikan bacaannya diperbaiki.

Seolah mereka mengetahui atas kondisiku, aku hanya menyimak dan memperhatikan mereka membaca ayat demi ayat hingga semua selesai.

Setelah membahas tentang apa makna ayat yang dibaca,  salah satu dari mereka membuka sesi lain.

Temanya tentang cinta. Tentang bagaimana manusia sering menggantungkan kebahagiaan pada sesama manusia, padahal cinta yang sejati hanyalah kepada Sang Pencipta.

Aku mendengarkan dengan hati yang awalnya keras. Tapi kata-kata itu seperti mengetuk pintu yang lama terkunci.

Ustadz berkata, “Kita boleh mencintai sesama manusia, kita bahkan dianjurkan saling menyayangi. Tapi jangan jadikan manusia sebagai pusat hidupmu. Karena manusia itu fana, berubah, dan bisa pergi kapan saja.

Cinta sejati hanyalah kepada Allah. Dari situlah akan lahir cinta yang benar kepada sesama makhluk-Nya.”

Aku terdiam. Kata-kata itu seperti bicara langsung padaku.

Aku merasa telanjang di hadapan kebenaran. Selama ini aku memang menjadikan manusia pusat hidupku.

Aku meletakkan seluruh kebahagiaanku pada satu orang. Ketika orang itu pergi, aku hancur.

Sejak hari itu, aku mulai rutin menghadiri pengajian pekanan itu.

Awalnya hanya duduk diam, tapi lama-lama aku mulai mencatat. Aku mulai menyimak lebih dalam. Ternyata pengajian itu bukan sekadar ceramah.

Ada diskusi, ada sharing pengalaman, ada dukungan moral.

Aku merasa seperti menemukan keluarga baru.

Di sana aku juga belajar tentang hal-hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.

Tentang bagaimana kita sebagai manusia punya tanggung jawab bukan hanya kepada diri sendiri, tapi juga kepada sesama.

Tentang saudara-saudara kita yang sedang terjajah di negerinya sendiri, seperti warga Palestina yang bertahun-tahun hidup dalam penderitaan.

Tentang bagaimana kita bisa peduli, mendoakan, bahkan membantu walau dengan langkah kecil.

Aku menyadari, selama ini duniaku sempit.

Hanya berisi diriku sendiri dan orang yang kucintai.

Aku lupa bahwa di luar sana ada kehidupan yang lebih luas, ada penderitaan yang lebih besar, ada perjuangan yang lebih berat.

Dari pengajian itu aku belajar bahwa cinta sejati bukan hanya pada pasangan, tetapi juga pada sesama manusia karena Allah, dan puncaknya kepada Allah sendiri.

UPA PKS—begitu nama wadah pengajian itu—menjadi titik balikku.

Awalnya aku datang hanya untuk mengisi kekosongan, sekarang aku datang karena haus akan ilmu dan ketenangan.

Di sela-sela hidupku yang sempat tak memiliki arah dan tujuan, aku menemukan media sekaligus majelis ilmu yang membimbingku.

Aku masih ingat salah satu materi yang paling mengena: “Cinta kepada Allah akan menuntunmu mencintai makhluk-Nya dengan cara yang benar.

Kau tidak akan berlebihan hingga lupa pada-Nya, dan tidak akan kurang hingga menyakiti mereka.” Kata-kata itu menjadi pegangan dalam proses penyembuhan hatiku.

Perlahan-lahan aku berubah. Aku mulai rajin shalat tepat waktu, membaca Al-Qur’an, dan merenungi maknanya.

Aku mulai membantu kegiatan sosial kecil-kecilan, mengumpulkan donasi untuk saudara kita di Palestina, ikut mengajar anak-anak di lingkungan sekitar.

Hatiku yang dulu gelap mulai terang.

Aku yang dulu merasa tak punya arah kini merasa menemukan jalan.

Aku masih manusia, masih bisa jatuh cinta, masih bisa kecewa. Tapi aku tidak lagi menggantungkan kebahagiaan pada manusia.

Aku belajar menggantungkan hatiku pada Allah, lalu dari situ aku membagikan cinta kepada sesama dengan cara yang sehat.

Kini aku bersyukur.

Dari patah hati yang dulu hampir membuatku ingin mati, aku justru menemukan kehidupan yang lebih indah.

Dari luka cinta yang dulu menyakitkan, aku menemukan cinta sejati yang tak pernah meninggalkan: cinta kepada Sang Pencipta. Terima kasih PKS.